Sunday 8 March 2015

BIDADARI HATI
Aku terdiam sepi, seperti gurun yang merindukan datangnya sang hujan.
Seperti daun yang merindukan datangnya butiran embun di pagi hari.
Aku terdiam sepi.
Ku coba berjalan, namun langkahku tak memiliki arah untuk berpijak.
Ada sesuatu yang hampa disini, aku tak tau.
Kuikuti arah angin berhembus, namun logika ku melarang, apakah kau hanya akan mengikuti angin tanpa punya tujuan? Apakah kau hanya akan menjadi sampah yang terbawa arus sungai yang deras tanpa bisa berbuat apa-apa?.
Tapi aku terus berjalan, persetan dengan logika pikirku, aku memang telah menjadi sampah bukan?
Aku kembali terdiam, disini. Di tempat dimana hiruk pikuk kota teredam sunyi. Aku tersadar, tempat ini tak asing bagiku, dulu aku pernah merasakan, pernah memiliki tujuan hidup, disini. Ya, aku dulu pernah bahagia, aku dulu pernah punya sejuta mimpi. Dulu hidupku serasa sempurna, hidupku dulu secerah mentari pagi, bersinar, penuh harapan bahwa hari ini kan berjalan baik. Dulu, ya, itu dulu.
Kini pikiranku mulai menampilkan gambaran keindahan hidupku dulu, semuanya berputar di kepalaku, hingga menampilkan secuat wajah, ya aku mengenalnya, aku mulai sadar bahwa dialah alasan kebahagiaan di masa laluku, dialah sang mentari pagi, bahkan lebih, ya dia bidadari hatiku.
Air mataku meleleh, aku tak tau, tiba-tiba aku ingin menangis, hatiku bisa merasakan lagi. Dan rasa sakit itu yang membangkitkannya.
Kakiku goyah, aku tak bisa menahannya, aku terjatuh. Airmataku masih mengalir, aku menatap sekeliling, pohon itu, bangku di taman, kolam ikan yang airnya jernih. Aku kembali teringat kenangan kita. Dulu kita sering kesini, bermain di dahan pohon tua yang masih kokoh ini, kita berbaring di atas rumput akasia yang hijau dan lembut ini sambil memandangi awan. Aku masih ingat kata-katamu.
“Sayang, kalau kita menikah nanti, kita tak perlu punya rumah yang mewah dan besar, karena walaupun kita tinggal di rumah yang beralaskan tanah dan beratapkan langit pun, asalkan masih bisa melihat senyummu aku sudah bahagia sekali”. Aku pun hanya tersenyum.
Airmataku makin mengalir, senyumu, gelak tawamu, hariku seakan tak pernah bosan jika kuhabiskan hanya untuk melihatnya. Aku ingin lagi merasakan itu, aku ingin menikmati tiap detik waktu yang kumiliki untuk bersamamu.
Aku sadar, dulu aku tak pernah membahagiakanmu, aku terlalu cuek dan tak menanggapimu.
Di pohon ini kamu pernah menuliskan namamu dan namaku disini. Kau menanyakan pendapatku, namun aku hanya bilang kalau kau berlebihan.
Disini, kamu sering memetik bunga yang tumbuh di sekitar kolam, kemudian kamu selipkan di telingaku, aku jengkel dan selalu membuangnya, kau pun hanya tertawa renyah sambil mencubit hidungku dan berlari. Tapi hari itu berbeda, kamu menyelipkan lagi bunga itu dan aku pun kembali membuangnya, tapi kamu malah mengambilnya dan memeluknya sambil menangis, aku tak tau kau kenapa, dan aku pun terlalu cuek untuk menanyakannya, tapi kini aku sadar, bahwa bunga itu adalah bunga terakhir yang kamu selipkan di telingaku.
Aku masih menangis, aku berjalan ke pohon itu, aku mengambil batu dan mengukir pohon itu dengan nama kita. maafkan aku sayang, kini ku sadar bahwa aku merindukan hadirmu disini, aku membutuhkan keceriaanmu untuk melengkapi hariku yang membosankan. Sayang maafkan lah segala kesalahanku padamu, semoga kau tenang di alam sana dan menjadi bidadari surga, sebagaimana kamu selalu menjadi bidadari hatiku.
Cerpen Karangan: Zaky Haq
Blog: zakyhaq.wordpress.com

No comments:

Post a Comment