Sunday 8 March 2015

Rahasia Cinta dan Waktu (Part 1)

“Yah! Jangan dimatikan! Aku lagi pakai laptopku! Aku nggak pakai mode baterai!” Rayhan berteriak melihat ayahnya yang hendak mematikan paksa sekering rumahnya.
“Ahh! Ayah apa-apaan si! Laptopku mati kan!” Rayhan terus menggerutu memperhatikan tingkah ayahnya yang sangat aneh.
‘kriiing kriiiing’
“Ah ini lagi! Ngapain sih anak itu?” Rayhan mengangkat telepon dari ponselnya yang sudah berdering sedari tadi. Dilihatnya pada layar terdapat foto seorang gadis.
“Berisiikkk!!!” Rayhan berteriak tepat di depan ponselnya.
“Kamu yang berisik!”
“Ada apa sih?”
“Han, aku pengen ketemu!” rengek Tantri dari ujung telepon.
“Mau ngapain?” tanya Rayhan.
“Pokoknya kita harus ketemu!” rengek Tantri sekali lagi yang membuat Rayhan terpaksa menurutinya.
“Oke, kita ketemu di tempat biasa ya, aku kesana sekarang.” Rayhan menutup laptopnya dan segera berkemas menuju sebuah rumah pohon yang dibangunnya bersama teman-temannya di tanah milik ayahnya. Tepatnya di atas pohon jati yang tumbuh liar di dekat kebun ayahnya. Pohon itu sangat aneh karena bercabang dua, dan sudutnya terlalu lebar sehingga Rayhan dan teman-temannya memutuskan untuk membuat sebuah rumah pohon disana.
“Ada apa tan?” tanya Rayhan sembari membuka pintu rumah pohon itu yang digembok dengan sederhana. Rayhan pun masuk dan diikuti Tantri dari belakang. Tiba-tiba Tantri menggandeng tangan Rayhan dan mengajaknya berjingkrak-jingkrak dan berputar-putar dengan tarian yang sangat aneh. Rayhan kebingungan dengan tingkah Tantri. Ia pun hanya bisa mengalah dengan mengikuti setiap gerakan Tantri. Akhirnya setelah lelah menghinggapi mereka, mereka pun duduk di atas tikar yang digelar di lantai.
“Kamu nggak tanya aku kenapa?” Tantri mengembangkan senyumnya lebar-lebar.
“Pasti kamu dapat lotre” Rayhan menjawab dengan cuek, bahkan tanpa melihat wajah Tantri.
“Iih, kok lotre sih.”
“Trus kenapa dong?”
“Aldo nembak aku!” ujar Tantri sambil tersenyum bangga. Rayhan nampak kaget, tatapannya tajam mengarah ke mata Tantri.
“Maksud kamu dia menyatakan cinta gitu?”
“Iya, kamu culun banget sih!” Tantri mengetuk kepala Rayhan.
“Ya, aku kan nggak pernah berurusan sama yang begituan, haha.” Rayhan bangkit dari duduknya dan berjalan melihat-lihat poster yang menempel di dinding.
“Hari ini aku diajak makan siang bareng lho.” Tantri tersenyum. Ia berusaha berbagi kebahagiaan dengan sahabatnya itu. Tapi tampaknya Rayhan tidak terlalu meresponnya. Hanya senyum kosong yang terlihat di bibir Rayhan.
“Han, kamu nggak seneng?” tanya Tantri yang ternyata sedari tadi memperhatikannya.
“Nggak! eh iya, selamat ya! Aku ikut senang.” Rayhan tergagap melihat Tantri yang tiba-tiba menegurnya.
“Kamu kenapa sih Han? Aneh banget.” ujar Tantri yang sedikit bingung melihat sahabatnya itu.
“Eh, ini apa sih! Jelek banget! Ngapain kamu pasang disini! Ngerusak pemandangan tau!” Rayhan malah mengalihkan pembicaraan mereka. Ia berusaha mencopot salah satu satu gambar berbingkai biru yang menempel di dinding.
“Eh, jangan dong!” Tantri menarik Rayhan, mencoba menjauhkannya dari poster itu. Dalam poster itu, terdapat gambar dua anak kecil yang sedang bergandengan tangan. Anak perempuan dengan rok merah, dan anak laki-laki bertopi. Gambar yang sangat berantakan, dan bisa dibilang jelek.
“Oke-oke! Lepasin dong. Aku mundur, fine.” Rayhan mencoba melepaskan cengkeraman Tantri.
“Itu gambarku waktu kelas satu SD.” Gumam Tantri.
“Ya, aku tau lah, kita kan satu SD, maksudku gambar apaan itu?”
“Ini gambar kita.” Tantri tampak melamun setelah mengucapkan itu. Rayhan memperhatikannya. Tantri tersenyum kecil sambil memandangi gambar itu. Manis sekali.
“Ehm! Aku? Kok nggak mirip ya?’ ujar Rayhan sambil melihatnya lebih dekat. Rayhan menyingkirkan badan Tantri. Tantri hanya memandangi dengan kesal karena sifat Rayhan yang seenaknya sendiri.
Mereka mengobrol kurang lebih satu jam disana. Saling mengejek dan menjahili. Mereka tidak pernah menunjukan keakurannya walaupun sebenarnya mereka saling peduli. Tantri, gadis cantik yang dikenalnya sejak kecil. Ia satu sekolah dengan Rayhan, bahkan satu kelas, semenjak SD hingga sekarang. Saat ini mereka menginjak kelas 2 SMA.
“Tan, aku ada urusan nih.” Ucap Rayhan, dia bangkit dari duduknya dan meregangkan otot-ototnya yang kaku.
“Ayo bangun!” Rayhan memukul lengan Tantri.
“Iya iya, bentar dong, emangnya kamu mau ngapain sih?”
“Ada deh.”
“Aku tau lah kamu mau ngapain.” Tantri mencubit pinggang Rayhan sambil tersenyum meledeknya.
“Oke, kamu turun duluan, aku pegangin.” Mereka pun turun dari rumah pohon mereka.
Mereka berjalan pulang bersama, sambil sesekali saling meledek. Rumah mereka bersebelahan, hanya dibatasi pagar. Bahkan balkon di kamar Tantri dan Rayhan yang berada di lantai 2 cukup dekat. Sehingga jika mereka mau, mereka bisa saja melompat ke kamar satu sama lain.
“Tante, ini saya kembalikan anaknya.” Rayhan meledek ibu Tantri yang berada di dapur.
“Heh! Kamu nggak sopan ya!” Tantri menginjak kaki Rayhan dan langsung dibalas oleh Rayhan.
“Eh, nak Rayhan, kalian dari mana?”
“Biasa tante, dari rumah pohon. Ngobrol-ngobrol.” Jawab Rayhan sekenanya.
“Sebentar nak, ada bingkisan buat mamamu.” Ibu Tantri tampak mengambil bungkusan di meja, dan menyerahannya pada Rayhan.
“Makasih tan, saya balik dulu ya.” Rayhan bergegas pulang lewat pintu belakang rumahnya. Ia tidak memikirkan apa isi bungkusan itu. Karena sudah sering ibu Tantri melakukan itu. Paling-paling makanan yang aneh-aneh yang Rayhan tidak tau namanya.
Rayhan kembali mengutak-atik laptopnya, ia sedang menyelesaikan program yang dibuatnya. Ia cukup mahir membuat program komputer. Logikanya jauh di atas rata-rata anak sebayanya. Tapi itu pula yang sering membuat Tantri jengkel karena kerap kali ia dicueki Rayhan. Sering saat ia terbangun tengah malam karena hendak ke toilet, ia melihat kamar Rayhan masih terang-benderang. Namun saat ia mengirim pesan singkat, Rayhan tidak membalasnya. Lalu saat ia akan tidur kembali, terdengar sesuatu seperti batu menghantam kaca di balkon kamarnya. Ternyata Rayhan melempar batu yang dibungkus kertas. Dan isinya hanya “Sorry, aku nggak ada pulsa, hehe.” Dan yang membuat Tantri bingung adalah dari mana ia mendapat batu tersebut. Apa Rayhan menyimpan batu-batu di kamarnya? Aneh-aneh saja.
Sudah seharian ini Rayhan berada di depan laptopnya, tanpa makan dan minum, bahkan ke toilet pun tidak. Entah bagaimana ia bisa menahan buang air kecil begitu lama.
“Halo?” Rayhan mengangkat handphone miliknya yang berdering
“Selamat siang, kami dari RS Candrawinangun, apakah anda anggota keluarga dari saudari Tantri Sitha Permana?”
“I, iya saya Athar, emm, kakaknya, ada apa?”
“Saudari Tantri mengalami kecelakaan, dan sekarang berada di ICU, kami mohon pihak keluarga segera datang untuk mengisi data administrasi pasien”
“Ma, maaf?”
“Saudari Tantri mengalami kecelakaan, dimohon pihak keluarga untuk secepatnya datang ke rumah sakit.”
“Ba, baiklah!” Rayhan segera bergegas menuju Rumah Sakit. Ia memacu kendaraannya di tengah lalu lintas kota. Ia beberapa kali menerobos lampu merah. Rayhan berbaur dengan orang-orang di Rumah Sakit. Ia berlari secepat yang ia bisa. Beberapa kali ia menabrak pengunjung rumah sakit lainnya.
“Tan, bodo banget si kamu! Begooo!” ia berlari menuju ruang ICU. Salah seorang perawat tampak memperhatikannya, ia kebingungan seperti melihat hantu. Tapi Rayhan terus berlari untuk melihat Tantri. Akhirnya ia menemukan ruangannya. Rambutnya nampak sangat berantakan karena terkena angin saat berlari tadi. Ia menggenggam kunci motornya sangat keras. Disitu tidak terlihat adanya Tantri. Hanya sesosok tubuh yang ditutup kain putih, dan dokter beserta beberapa perawat juga berdiri di sampingnya. Ia tidak menghiraukannya. Rayhan berjalan ke arah dokter dan mengguncang-guncangkan tubuhnya.
“Dimana Tantri!” Rayhan berteriak sambil tetap mengguncang badan sang dokter.
“Maaf anda siapa?” Tanya dokter tersebut.
“Saya, saya kakak Tantri!” Jawab Rayhan asal, mencoba meyakinkan dokter itu.
“Maaf, kami tidak bisa berbuat banyak, pendarahannya sangat parah. Ia kehabisan banyak sekali darah.”
“Berikan darahku! Berikan darahku sebanyak yang anda mau! Golongan darah kami sama!” Rayhan mencincingkan lengan bajunya, tangisnya semakin pecah.
“Maaf tapi…” dokter menatap ke arah sesosok tubuh yang ada di tempat tidur.
Rayhan tertegun sejenak. Ia berjalan ke arah tubuh tersebut. Ia menyingkap kain yang menutupi wajah tubuh itu. Air matanya menetes tak terkendali saat melihat Tantri terbaring disana. Darah segar masih melumuri kepala Tantri walaupun terlihat bahwa sebelumnya telah dibersihkan. Rayhan terlambat. Tantri telah pergi untuk selamanya, ia kehabisan banyak darah sehingga nyawanya tidak tertolong lagi. Rayhan terhenyak, ia mencoba menahan air matanya agar tidak terjatuh lagi, namun kini air matanya malah semakin deras dengan tangis sesenggukan. Ia berjalan mundur, menjauh, dan berakhir pada pojokan ruangan, Rayhan lemas seketika, kakinya tidak sanggup lagi menahan berat tubuhnya, sehingga ia terduduk disana. Samar-samar terbayang dalam pikiran Rayhan kenangan-kenangan yang telah terjalin selama 17 tahun ini, pikirannya melayang jauh ke saat-saat ia bersama Tantri, saat bercanda bersama, saat berjalan menuju sekolah bersama, saat mereka saling menjahili, saat Tantri mendorongnya jatuh dari rumah pohon, semuanya. Sifatnya yang periang membuat Rayhan semakin sulit melepas kepergian Tantri, sahabat yang selalu ada dan paling mengerti sifatnya. Ia tidak mampu berkata-kata lagi, ia sangat terpukul. Terlebih lagi, sepertinya Rayhan mencintai gadis itu. Akhir-akhir ini, Rayhan merasa risih jika ada teman lelaki Tantri yang mendekatinya, bahkan hanya mengajak ngobrol saja hati Rayhan terasa panas melihatnya. Oleh sebab itu, Rayhan semakin menyibukkan diri larut dalam kegiatannya, mencoba menahan perasaan aneh yang ia tidak mengerti.
“Rayhan? Sudah 2 hari nak, kamu mengurung diri di kamar, keluarlah sebentar barang sekedar makan, apa kamu tidak lapar?” sapa ibu Rayhan, setelah mengetuk pintu kamar Rayhan.
“Ibu tau perasaanmu nak, keluarlah bicara sama ibu, ibu harus membuat alasan apa lagi untuk ijin sekolahmu?” lanjut ibu Rayhan dengan penuh kesabaran.
“Aku nggak apa-apa bu.” Suara Rayhan terdengar samar-samar dari dalam kamarnya. Ibu Rayhan nampak kewalahan dengan anaknnya itu. Ia menatap ayah Rayhan yang berdiri di sampingnya. Ayah Rayhan harus turun tangan untuk membujuk anaknya itu dan nampaknya beliau berhasil membujuknya untuk membukakan pintu. Ia pun masuk diikuti istrinya yang langsung distop olehnya untuk menunggu di luar saja.
Beberapa menit berlalu, sepasang ayah dan anak ini nampak sedang membicarakan sesuatu. Rayhan memang lebih dekat dengan ayahya. Siswono Daud Atharrofiq, seorang ilmuwan yang sangat cerdas dan low profile. Lulus dari salah satu kampus teknik terbaik di Amerika dan mendapat gelar doktor pada usia 23 tahun. Ia mematenkan beberapa penemuannya, namun beberapa lagi tidak ia publikasikan karena alasan tertentu. Ia mempunyai seorang anak bernama Athar Rayhan, anak yang cerdas seperti ayahnya.
“Apa ayah serius dengan penemuan ayah waktu itu tentang, emm, mesin waktu?” tanya Rayhan.
“Kenapa kamu menanyakan hal itu?”
“Jawab saja yah.”
“Itu tidak seperti yang kamu bayangkan nak, ayah tidak yakin dengan penemuan itu.”
“Ceritakan sedikit padaku yah!”
“Baiklah jika kamu memaksa, singkatnya sebulan yang lalu, sepertinya secara tidak sengaja ayah telah membuat lubang hitam selama beberapa detik dari platina yang dialiri arus listrik, karena ayah ketakutan, jadi ayah segera mematikan sumber listriknya. Lubang itu hampir seperti yang dihasilkan oleh tangga yakub Mike Marcum, menurut ayah lubang hitam itu bisa membawa sebuah objek ke masa lalu dengan cara melompat dari ujung ruang dan waktu yang dibengkokan secara bersamaan. Tapi dengan batasan sejak mesin itu diaktifkan atau diinstal. Jadi kita tidak bisa kembali ke masa sebelum mesin itu diaktifkan.”
“Oke, aku nggak ngerti apa yang ayah bicarakan, jadi apa bahayanya?”
“Ada beberapa kemungkinan buruk jika kita mencoba menghidupkannya, pertama, ayah tidak tau berapa lama lubang itu akan bertahan sebelum akhirnya menutup, kedua, ayah belum menemukan cara untuk kembali jika lubang itu menutup, ketiga, jika energi yang diciptakan terlalu besar, kemungkinan lubang hitam itu justru akan menyerap semuanya dan menjadi semakin besar, kau tidak akan mengerti nak, percuma ayah jelaskan.”
“Apa ayah telah mengaktifkanya?”
“Tentu saja sudah, dua hari yang lalu.”
“Du, dua hari?”
“Iya, dua hari yang lalu saat kau sedang bermain dengan laptopmu dan ayah mematikan listrik rumah kita. Kau ingat?” ujar ayah Rayhan. Pikiran Rayhan langsung melayang ke masa itu, dimana ia sedang berkutat dengan laptopnya dan saat itu Tantri menelfonnya. Ya! Hari itu hari kematian Tantri.
Cerpen Karangan: Rio Nur Arifin
Blog: rioarifin11.wordpress.com

No comments:

Post a Comment