Sunday 8 March 2015

BATAS
SEORANG PENGUSAHA SUKSES TEWAS DIBUNUH PEREMPUAN REMAJA
Aku membaca headline Koran yang ditulis besar-besar itu seraya memicingkan mata. Cih! Yang benar saja! Aku memang masih remaja. Tapi, pantaskan seorang pembunuh sepertiku harus dikuak tentang usiaku yang masih belia remaja seperti itu? Oh, aku tahu apa yang ada dipikiranmu saat ini. Pasti yang kau pikirkan tentangku adalah; masih muda, pembunuh, tidak punya perasaan, dan ah, macam-macam.
Seorang saksi mata memaparkan, bahwa salah satu pengusaha yang ternyata adalah pemilik perusahaan Heen Bekk Fruity Factory (HBFF) tewas dibunuh pada (13/04). Hari Rabu siang pukul 14.00 WIB. “Bocah kecil itu keluar dari ruangan beliau siang itu. Dia berjalan santai seolah tidak terjadi apa-apa. Hebatnya, tidak satu orang pun tahu, ternyata bocah itu seorang pembunuh,” tutur saksi mata.
Tidak ada yang tahu pasti motif pelaku. Yang jelas, pelaku menggunakan pakaian hitam saat keluar dari kantor. Usianya sekitar tujuhbelas tahun. Rambut digerai panjang, dan tentu seorang perempuan. Karyawan menduga, pelaku adalah orang suruhan atau bahkan orang dalam. Kabar yang melintas, pelaku bisa jadi psikopat. Yang jelas, pembunuhan dilakukan siang hari di jam kerja dan tidak ada yang mengetahuinya. Bukankah…
Cih! Aku melipat Koran itu sekenanya dan melemparkannya ke sudut ruang tamu. Aku bukan orang suruhan ataupun psikopat! Bukan dan sama sekali bukan! Aku sudah jengah membaca berita itu yang melebih-lebihkan tentang diriku. Sudah puluhan stasiun televisi yang menyiarkan aksi pembunuhan yang telah aku lakukan. Sudah sebanyak itu juga aku jengah mendengarnya.
Apapun yang aku lakukan, itu tentu bukan suatu tindakan yang tidak berlandaskan suatu alasan. Bukan kerja otot atas iseng-isengan. Bukan juga atas suatu ketidakwarasan akalku. Aku masih waras. Bahkan, aku masih ingat betul bagaimana aku melakukannya. Bagaimana air mukanya saat itu. Semuanya terpatri jelas dalam ingatanku.
Aku tidak terlahir dalam keluarga yang berkarakter jelek. Aku tidak pernah dididik menjadi seorang pembunuh. Aku tidak pernah berusaha menjadi pembunuh. Aku akui, aku adalah anak baik-baik kala itu. Tidak pernah terbesit dalam pikiranku untuk menyakiti sesama manusia. Tidak pernah sekalipun. Tidak. Tidak sampai hari itu datang dan waktu yang membuatku begini…
Saat itu, aku baru saja mengenyam bangku pendidikan kelas tiga SMP. Aku bisa dikatakan sebagai kebanggaan kedua orangtuaku. Nyaris setiap penerimaan rapor, peringkat satu aku raih. Jikapun tidak, namaku tetap terpampang dalam deretan peringkat tiga besar. Aku bisa dikatakan sebagai siswi yang disiplin, tidak pernah terlambat sekolah. Aku mengantongi nilai-nilai kepribadian baik.
Tetapi, hari itu datang juga. Aku dan sepupu laki-lakiku membuka daun pintu saat kami tiba di rumah. Aku mendengar suara melengking menggaung di telingaku. Aku tahu suara itu. Itu suara bundaku. Dengan langkah tergopoh-gopoh, aku dan sepupuku hanya bisa berlari menuju sumber suara.
Disanalah, mata kepalaku tidak dapat kupercaya sendiri. Bundaku, ayahku, mereka dikeroyok habis-habisan oleh tiga lelaki besar menyeramkan. Aku berteriak sekeras yang aku bisa. Rupanya, itu tidak berhasil sama sekali. Hingga lecutan tembakan keras terdengar memenuhi gubuk kami. Tiga lelaki itu berhenti menyakiti orangtuaku. Dengan tatapan marah, mereka meninggalkan kami yang masih terpaku di tempat.
Aku mengamati jasad ayah dan bundaku. Bau amis darah memenuhi hidungku. Gaungan tangisku sendiri senantiasa berdengung dalam telingaku. Hingga yang kusadari, air mataku telah meleleh. Dan, satu-satunya orang yang kupunya, sepupu laki-lakiku, yang jelas, ia telah banyak memulihkan keadaanku.
Aku masih sering menangis jika mengingat kejadian itu. Sudah tiga tahun kejadian itu terjadi. Dan, sosok tiga laki-laki itu masih kuingat garis wajahnya. Dan, salah satu pengusaha sukses itulah satu di antara tiga
laki-laki itu. Pengusaha yang tewas ditanganku.
Jujur, menjadi seorang pembunuh bukan suatu keinginan bagiku. Tapi, mengingat mereka telah merenggut kedua orangtuaku, menghempaskan kebahagiaanku, dan dengan tega memperlihatkan pembunuhan di depan mataku, mereka benar-benar menuntunku menjadi seorang pembunuh.
Hidup memang tidak adil. Aku menghela napas. Kusadari telah kubunuh tiga lelaki itu. Tidak ada yang mengenaliku. Disini, mungkin mereka mengenalku sebagai perempuan ceria biasa, namun, ada senjata di balik telapak tanganku. Senjata yang dapat melukai siapa saja, yang melukai orang yang aku sayangi.
“Runa,” aku berbalik menuju sumber suara. Roe, sepupu laki-lakiku duduk di atas sofa, ia menatapku lelah, “Berhentilah menjadi seorang pembunuh. Sekarang, aku yang akan membuatmu tidak seperti ini lagi. Percayalah, kematian dibalas kematian juga bukan suatu yang baik.”
“Aku paham, Roe.” Sahutku tegas. Aku membuka telapak tangan dan menarikannnya di udara, “Siapa yang peduli atas itu! Sudah cukup aku dibayang-bayangi kematian orangtuaku! Mereka sudah merengkuhnya dariku!”
“Itu tidak menyelesaikan masalah. Pilihlah, disini menjadi orang baik lagi, atau menyerah kepada polisi! Jangan jadi pengecut, Runa!” sahut Roe emosi.
“Aku bukan pengecut, Roe!” aku menunjuknya marah. “Kamu tidak perlu menyuruhku menyerah pada polisi. Aku mau melakukannya! Tapi, satu poin penting yang kamu lupa! Entah apapun yang aku jabarkan, aku tetap akan mati di tangan mereka!”
Roe dan aku sama-sama terdiam. Pandanganku terjatuh pada pohon ketapang di depan rumah yang sudah berusia. Memang begitu adanya. Jika aku menyerahkan diri ke polisi, tidak akan ada yang membuat nasibku berubah. Mereka tidak akan mendengarkan alasan mengapa aku menjadi pembunuh. Mengapa di usiaku yang belia, aku berani membunuh. Atau, sejarah awal apa yang membuat aku menjadi pembunuh! Mereka tidak akan mendengarkan dan tidak akan peduli. Bagaimanapun aku, berapapun usiaku, dan apapun kisah di balik ini, tidak akan mengubah keputusan mereka. Dan, aku pasti akan mati di tangan mereka!
Nasibku sudah di tepi jurang. Seberapapun kata yang aku keluarkan, sudah pasti aku terjatuh dalam jurang, dan mati! Dan, sebanyak apapun aku melangkah, berapa samudra yang aku seberangi, tidak akan merubah kenyataan! Aku buronan dan aku pembunuh!
Sungguh, batas yang sangat menyakitkan. Batas, dimana, tidak ada lagi gunanya berbicara. Mendengarkan, sudah tidak berlaku lagi. Batas, dimana aku mati, dalam kisah masa lalu yang menyakitkan dan menyayat rongga hati.
Cerpen Karangan: Naila Khuria Lutfiana
Blog: nailakhurial.blogspot.com

No comments:

Post a Comment