Sunday 8 March 2015


EMBUN CINTA PART. II
Cerpen Karya Desy Dwi Aryani Suandi

Ponsel yang ada di atas meja riasku tiba-tiba bergetar. Itu ponsel Hafiz. “Sudah dua kali ponsel ini bergetar. SMS dari siapa itu?” Tanyaku dalam hati. Aku begitu penasaran. Kulirik ke arah kamar mandi. “Hafiz sepertinya masih lama di kamar mandi” Pikirku.
Ku raih ponsel itu. Begitu terkejutnya aku melihat isi pesan itu. Dadaku begitu panas. Hafiz yang aku fikir baik ternyata sama seperti laki-laki di luar sana. Ku terdiam dengan ponsel yang aku genggam di erat di tanganku. Aku tidak tau kenapa tiba-tiba aku begitu marah membaca pesan itu.

Tanpa aku sadari, Hafiz sudah berdiri di belakangku. “Ada apa Aira?” kenapa ponsel itu ada padamu?” Tanya Hafiz heran.
“Kamu. Kamu janga berlagak baik di depan aku. Aku tahu kamu tidak suka dengan sikap dan perlakuan aku kepadamu selama ini. Tapi tidak begini caranya kamu balas dendam. Setidakknya kamu hargai aku sedikit sebagai istri kamu.” Aku sudah tidak bias menahan amarahku lagu. Semua aku ungkapkan begitu saja.
“Ma… maksud kamu apa Aira? Aku gak ngerti.” Jawabnya.
“Buat apa kamu menyanjung aku di depan ibumu, buat apa kamu menutup-putupi perlakuan burukku terhadapmu di hadapan ibumu? Buat apa? Jawab.” Emosiku semakin tidak tertahan.
“Apa yang kamu bicarakan? Ada apa ini? Ada apa Aira?” Hafiz meminta penjelasan.
“Nih, Tanya sama wanita itu. Diana. Selingkuhan kamu.” Aku menyerahkan posel itu dengan kasar kepada Hafiz. Lalu aku keluar dari kamar dan berlari.
“Aira.. Aita tunggu Aira, biar aku jelaskan. Ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan.” Hafiz mengejarku dan berhasil meraih tanganku.
“Apa? Apa lagi?”
“Ini salah paham, biar aku jelaskan. Diana buan siapa-siapa aku. Dia itu teman aku.” Hafiz member penjelasan.
“Percuma. Sekarang aku minta kamu ceraikan aku. Setelah itu kamu bebar melakukan apa saja dengan wanita itu.” Akhirnya kata-kata itu aku ucapkan juga.
“Tidak.. Aku tidak akan menceraikan kamu.” Terang Hafiz.
“Kenapa? Bukannya itu yang kamu tunggu-tunggu. Supaya tidak ada lagi yang menghalangimu dengan…...”
“Aku mencintaimu. Iya aku sangat mencintaimu. Kamulah istriku. Kamulah satu-satunya wanita yang aku cintai.” Kata-kata Hafiz membuatku terdiam.
“Cinta? Bukan ini bukan cunta. Tapi kepalsuan. Kepalsuan yang harus diakhiri.” Aku berlari keluar rumah dan menjauhi Hafiz.
“Kenapa? Kenapa sikapku seperti ini setelah membaca pesan itu? Kamu cemburu kan?” pertanyaan hafiz membuat langkahku terhenti seketika.
“Aku tidak cemburu. Aku hanya tidak ingin dipermainkan olehmu. Jadi tolong ceraikan aku sekarang.” Aku berlari keluar dari dumah itu dengan berlingang air mata. Aku tak menghiraukan Hafiz yang berkali-kali memanggilku. Hatiku begitu sakit. Lebih sakit daripada saat kedua orangtuaku memberitahukan tentang perjodohanku dengan Hafiz. “Ada apa denganku/ kenapa tiba-tiba perasaanku seperti ini? Apa aku sudah mulai mencintainya?” Lagi-lagi muncul pertanyaan yang tak aku tahu jawabannya.
Tiba-tiba. “Airaaaa….. Awaaassss…. Aku tersungkur ke tepi jalan. Dan sesaat kemudian dunia menjadi gelap.
***

Perlahan ku buka mataku. Orang tuaku sedang berdiri di sebelahku. “Aww… Kepalaku.” Aku merasakan sedikit nyeri pada bagian kepala. “Aku dimana?’Tanyaku pada mereka.
“Tenang Aira, kamu ada di rumah sakit nak.” Jelas ibuku.
“Rumah sakit? Aku kenapa? Hafiz dimana bu?’ tanyaku. Ku ingat terakhir kali tadi dia mendorongku hingga aku pingsan.
“Nak Hafiz baik-baik saja. Kamu tenang saja nak.” Bapak menjawab.
“Apa maksud bapak?” Tanyaku dengan heran.
“Hafiz dalam keadaan kritis. Kata orang yang membawa kalian kemarin dia mencobamenyelamatkanku saat kamu akan tertabrak truk nak.” Jelas ibu sembari menangis.
“Tidaaakkk….” Kembali aku merasakan langit seolah runtuh. “Bu.. aku mau ketemu hafiz.. bawa aku menemuinya bu.” Aku menangis tersedu.
“iya nak iya.”

Menggunakan kursi roda, aku merkeras menemui Hafiz di ruang rawatnya ditemani ibu dan bapak. Di sana kudapati mertuaku sedang dalam keadaan cemas.
“Aira, kamu sudah sadar nak. Alhamdulillah.” Ibu mertuaku menghampiriku.
Hafiz bu. Hafiz mana?” Tanyaku padanya.
Dia sudah melewati masa kritis. Tapi masih belum sadar.” Jawab mertuaku.

Seketika air mataku mengalir deras. “Maafin aku. Aku memang bukan istri yang baik. Aku mencelakan suamiku sendiri.” Sesalku dalam tangis.
“Tidak nak. Tidak. Ini memang takdir dari Allah. Kamu jangan menyalahkan diri sendiri. ‘ Ibu mertuaku menenangkanku sambil mendekapku.
“Maafin aku bu. Maafin aku.” Kembali aku menangis.
“Sudah nak. Sudah. Mari kita temui Hafiz” ajak mertuaku.
Di hadapan hafiz. “Maafin aku. Aku bukan istru yang baik buat kamu. Jangan tinggalkan aku. Aku mohon.” Aku menggenggam tangan Hafiz sambil menangis menyesali perbuatanku selama ini.
***

Hampir seminggu Hafiz belum sadar dari komanya. “Aku salah, tolong maafin aku. Diana sudah menjelaskannya padaku. Kamu hanya menolongnya agar tidak bercerai dengan suaminya. Dan dia juga bilang kalo kamu sangat mencintai aku. Hafiz maafin aku. Aku mohon bangun. Aku gak mau kehilangan kamu. Aku mau kamu selalu ada disamping aku, aku mau kamu kamu. Aku saying kamu. Aku cinta kamu. Bangun Hafiz bangun.” Air mataku tak henti-hentinya mengalir.

Tiba-tiba jari Hafiz bergerak. “Hafiz, kamu sudah sadar? Alhamduliilah.” Aku lega melihat hafis perlahan membuka matanya. “Maafin aku. Aku janji akan jadi istri yang baik buat kamu. Aku akan lakuin apapun buat kamu. Maafin aku.” Sembari aku mencium pangan Hafiz.
“Aku mencintaumu Aira. Aku gak mau pisah dari kamu.” Hafiz terbata-bata mengucapkan kalimat itu.
“Iya. Aku tahu. Aku juga mencintaimu. Sangat mencintaimu.” Aku senyum dengan air mataku kembali berlinang.

Hafiz tersenyum. “terima kasih sayang.”
“Iya. Iya.” Kubalas senyumannya.
***
Beberapa hari kemuduan Hafiz, sudah boleh pulang. Kini aku menyadari bahwa aku sangat mencintainya. Aku tidak ingin jauh darinya. Aku ingin selamanya bersamanya.

Waktu berjalan begitu cepatnya. Kini aku menjalani peranku sebagai istri yang sesungguhnya. Aku berhenti dari pekerjaanku. Aku ingin fokus mengurus keluarga kecilku. Terlebih lagi saat ini aku sedang mengandung janih hasil buah cintaku dengan suamiku Hafiz. Aku ingin selamanya akan terus seperti ini, hidup bahagia bersama anak-anak kami.
hari-hari kami lalui dengan luapan kebahagiaan. Aku beruntung bisa mendapatkan suami seperti dia, yang setia bersamaku dan rela berkorban untukku seperti embun yang rela menguap demi menyegarkan dedaunan.

*****END*****

Baca Sambungannya :
  1. Embun Cinta Part. I
  2. Embun Cinta Part. II

PROFIL PENULIS
Nama: Desy Dwi Aryani Suandi
TTL: Masbagik, Lombok Timur, 30 Januari 1993
Sekolah: Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat (Jurusan Pendidikan
bahasa Inggris)
Hobi: menulis/mengarang
Alamat FB: Ewiik Aryani (Ewyc.aryani@yahoo.com)
Alamat Twitter: @ewyc_deathbat
Alamat Instagram: @ewyc_airen
No. Urut : 1596
Tanggal Kirim : 07/07/2014 23:32:03

No comments:

Post a Comment