Sunday 8 March 2015

Hari ini, masuk sekolah di tahun ajaran baru. Aku yang baru saja masuk di MTs. Nurul Huda Masih Terasa begitu kaku. Benar saja, sekolah Baru, Dunia pun baru, Hari hari Pertama kami Mengikuti MOS Lalu Perkaju (Perkemahan Kamis Malam Jum’at) Mungkin Asing Di Telinga Kalian, Aku pun Begitu
“Perkenalkan namaku Silvina Ayuni, biasa di Panggil Fina, Cita-cita Menjadi Dokter dan Hal yang aku senangi yaitu yang menyangkut IPA dan Kedokteran dan hal yang aku benci adalah berternak ayam. No Other…!!!” Ucapku setelah disuruh wali kelasku, Pak Nuruddin untuk bergilir memperkenalkan diri.
Di rumah, aku hanya tinggal bersama ibuku yang sedang sakit-sakitan. Ayahku meninggal karena kecelakaan bersama kakakku, 4 tahun yang lalu. Dan aku tak punya adik. Saudaraku beberapa ada yang tinggal di kota, ada pula yang tinggal di daerah pesisir. Sedangkan aku sendiri tinggal di pegunungan, tepatnya di lembah. Hidupku dan ibuku hanya bertumpu pada gaji pensiun ayah ketika menjadi guru negeri, dagangan ibuku yang setiap hari aku bawa ke pasar sebelum sekolah dan sebagiannya juga aku titipkan pada toko-toko dan aku bawa ke sekolah untuk aku titipkan Bu Ami, langgananku, orang yang bersimpati pada kami.
Jalankan mobil, sepeda onthel pun kami tak punya, rumah pun lebih bisa dikatakan “gubuk tua”. Tapi tak apa, yang penting aku masih punya ibu walaupun sakit-sakitan.
Sejak kecil, aku selalu diajari ayah beberapa hal tentang alam, manusia, ilmu kedokteran dan semua yang berhubungan dengan IPA. Maklum, meskipun ayahku sudah tua, tapi beliau adalah dosen di sebuah Fakultas Kedokteran. Bahkan sebelum ayahku meninggal, ayah menghadiahkan sebuah buku besar berisi hal-hal tentang kesehatan yang saat ini masih aku simpan. Ayah selalu memberi motivasi untukku agar aku dapat menjadi seorang dokter. Itulah sebabnya sampai saat ini aku memiliki cita-cita ingin menjadi dokter.
Sedangkan ibuku adalah ibu rumah tangga yang selalu mengurus rapi urusan rumah. Dulu, sebelum ibu sakit-sakitan karena jantungnya kumat mendengar kabar bahwa ayah telah meninggal, ibu menjadi pedagang keliling, dan sepulang sekolah pun aku ikut membantunya menjajakan dagangan. Hitung-hitung buat tambahan biaya untuk aku dan kakakku sekolah, dulu.
Ibuku adalah pecinta binatang, terutama ayam. Hewan yang paling aku benci dan aku takuti. Entah kenapa aku begitu takut dengan ayam, tapi itulah diriku. Sebelum ibu sakit-sakitan, ibu berternak ayam, didukung ayahku yang tau bagaimana merawat hewan bulat itu, dengan baik. sampai saat ayahku meninggal, satu persatu ayamnya pun mati, karena tak ada perawatan yang baik. Ibu pun bersedih.
Beberapa hari yang lalu, ketika aku sedang menyuapi ibu makan malam, tetanggaku datang dengan membawa seekor anak ayam berumur sekitar satu bulan untuk diberikan pada ibu, dengan alasan ayam jantan milik ibu, dulu pernah mengawini ayam tetanggaku, hingga sekarang tetanggaku pun menjadi peternak besar. Betapa senangnya ibu, setelah itu Bu Sri, tetanggaku balik.
“Lihat Fin, kita bisa berternak lagi, coba pegang ayam ini” ucap ibu sumringah, lalu menyuruhku memegang ayam, binatang paling aku benci dan takuti.
“Kan ibu tau aku takut ayam…” ucapku perlahan dan membuat ibu kaget mandengar pernyataanku.
“wah… bagaimanan ini, siapa yang akan mewujudkan cita-cita ibu menjadi peternak ayam? Kakakmu yang ibu harapkan sudah tidak ada lagi.” Jawab ibu lesu dan sedih.
“Bu… sebenarnya aku juga ingin mewujudkan cita-cita ibu, tapi hatiku sudah terlanjur ingin menjadi dokter bu” ucapku dalam hati.
“ya sudah, ibu istirahat dulu ya. Sini biar ayamnya aku bawa ke belakang” jawabku lalu menidurkan ibu kemudian mengambil anak ayam dengan perasaan was-was. Hampir saja aku ingin pingsan gara-gara ayam itu. Untunglah itu tidak terjadi.
Hingga seminggu aku menguji nyaliku untuk merawat anak ayam itu. Demi impian ibu yang hampir pupus. Ibu mengajariku banyak hal tentang ayam. Walaupun samasekali aku tak mengerti. Hingga pada akhirnya, sepulang sekolah, aku dipanggil ibu ke kamar. Segera aku menghampirinya.
“ibu kenapa? Ibu mau makan? Atau mau sholat?” tanyaku setelah sampai dikamar.
“ibu mau sholat nak. Bantu ibu wudlu ya” jawab ibu yang mulai lemas. Dengan sabar aku membantu ibuku berwudlu. Setelah itu memakaikan rukuh untuk ibuku. Sebelum sholat, ibu berpesan kepadaku.
“dengar ibu ya nak, sebentar lagi ibu akan menyusul ayah dan kakakmu. Ibu berpesan jadilah anak yang baik dan ayam itu, ibu mohon rawatlah dengan baik seperti kamu merawat dirimu sendiri dan ibumu ini. Ibu harap ia akan menjadi bekembang lebih banyak, dan kamu pun menjadi peternak hebat” ucap ibu membuat aku menangis tersedu lalu segera memeluk ibu.
“ibu janga berkata begitu, aku pasti akan menyembuhkan ibu. Dan aku janji akan merawat anak ayam itu dengan baik seperti aku merawat ibu dan diriku sendiri” jawabku masih dalam pelukan ibu dan terisak. Setelah itu ibu pun melakukan sholat dengan seadanya. Setelah salam ibu bedo’a, lalu menatapku penuh harapan.
“Ibu berharap kamu mewujudkan impian ibu” lalu ibu memelukku dan tak bergerak lagi. Ibu meninggal. Ibu…!!!
“Ibu…!!!” teriakku sembari menggoncangkan tubuh ibu, dengan berharap agar ibu bangun lalu tersenyum dan memelukku. Tapi ini tidak. Ibu benar-benar pergi. Meniggalkanku sendirian dan menyusul ayah serta kakakku. Baru 13 tahun, aku sudah menjadi yatim piatu dan hidup sebatangkara.
Seminggu kemudian, setelah kematian ibuku, sepulang sekolah aku mencoba menengok anak ayam warisan ibu, dan apa yang terjadi? Anak ayam itu terkulai lemas. Aku lupa, kemarin aku belum memberinya makan. Aku teringat ibu, lalu membayangkan ibu menangis dan kecewa denganku karena tak mampu menjaga anak ayam satu-satunya peninggalan ibuku. Bergegas aku mengambil beras seadanya dan tanpa aku sadari aku mengambil anak ayam itu lalu aku letakkan di atas telapak tanganku yang telah aku buka dan aku isi sedikit beras itu.
“sudah seminggu aku begini, kalau terus begini apakah aku bisa melanjutkan sekolah? Makan saja seadanya. Apa aku harus buang jauh-jauh harapanku ingin menjadi dokter? Lalu beternak ayam saja? Ibu-ayah, bagaimana ini? Ah.. jika aku berternak, tak mungkin. Ayam saja aku ta…” ucapku sambil merenungi anak ayam iu makan dengan lahap, namun terpotong sendiri ketika aku sadar di atas telapak tanganku ada seekor anak ayam yang bertengger disana.
“Hei!! Aku berani memegang anak ayam? Aku berani…!!! Ibu.. aku berani bu..!!!” lanjutku kegirangan lalu berlari menuju kamar untuk memberi tahu ibu. Tapi tak ada ibu. Aku baru ingat ibu telah pergi. Dengan lemas aku duduk di kasur meratapi nasib.
“nak… kamu sudah berani? Berarti kamu bisa melanjutkan impian ibu nak…” Akku membayangkan betapa senangnya ibu jika melihat ini.
“dengan satu anak ayam ini, kamu pasti bisa menjadi dokter” bayangan ayah terlihat penuh harap
“ayo dek… kamu pasti bisa bertahan!!!” lagi-lagi ada bayanngan kakak begitu antusias menyemangatiku. Airmataku pun bercucuran keluar. Dengan meratapi anak ayam itu, ku elus bulunya, yang ternyata begitu halus.
“mungkin benar, aku harus terus jalan! Tak ada kata mundur disini! Iya kan anak ayam lucu?” ucapku masih terisak.
“Ibu, Ayah, kakak. Lihat aku! Aku pasti berhasil! aku janji itu!” tekadku
Hari-hari pun berjalan mulus, setiap pulang sekolah, aku selalu menengok anak ayam itu. Pagi-siang-malam selalu aku beri makan. Aku rawat dia seperti aku merawat ibuku dahulu. Jika aku berangkat, aku keluarkan dia dari sarangnya untuk bermain dengan teman-temannya, lalu sepulang sekolah aku mencarinya untuk sekedar memberi makan, karena aku tidak mau anak ayam itu makan sembarangan, awalnya aku dibimbing Bu Sri untuk merawatnya, tapi lama kelamaan aku pun terbiasa saking sayangnya, aku terkadang tertidur di kursi yang sengaja aku letakkan di dekat kandang ayam itu
Tak terasa, hampir dua tahun aku merawat anak ayam ini hingga sekarang dia telah berubah menjadi ayam betina yang kuat, dan tak kusangka kini dari anak ayam berusia satu bulan itu menjadi ayam besar yang telah berkali-kali bertelur dan beranak hampir 10 ekor per menetas. Tak jarang juga ada pedagang ayam yang bersedia membeli ayamku langsung memborongnya. Meskipun begitu aku tak ada niat untuk menjual anak ayam besar itu, pemberian ibuku. Biarlah dia mati dengan sendirinya dan menemui ibu untuk memberitahukan bahwa aku telah berhasil berternak ayam.
Sebentar lagi aku UN, karena merasa tak sanggup merawat ayam-ayam itu, aku meminta bu Mina, kawan dekat ibu untuk ikut merawatnya dengan bayaran seadanya. Dengan senang, Bu Mina membantuku namun tak pernah mau menerima uang dariku. Katanya untuk biaya sekolah saja.
Hampir 3 bulan aku menunggu, pengumuman kelulusan pun akkhirnya terjadi. Dan Alhamdulillah aku lulus dengan peringkat pertama sekabupaten. Usahaku selama ini tak sia-sia.
Sebagai bentuk syukurku, akkupun mengadakan syukuran untuk ibu, ayah dan kakak. Lalu aku memberikan kesempatan orang-orang untuk menjadi karyawanku.
Setahun sudah telah berlalu. Kini aku berhasil menjadi peternak yang sukses. Aku putuskan untuk melanjutkan sekolah, setelah setahun aku berhenti sekolah dahulu untuk pekerjaan ini.
Suatu malam, aku teringat sesuatu. Sebuah buku besar pemberian ayah dan dokter, Cita-citaku, Aku tak pernah lupa itu. Cuma aku kubur, sementara untuk ayam-ayam kesayanganku itu. Dengan segala tekad aku berfikir untuk melanjutkan ke MA Darus Salam dan mengambil jurusan IPA, dengan biaya hasil berternak.
3 tahun lamanya, akhirnya akupun berhasil lulus dengan gelar ‘siswi teladan’ sekabupaten. Aku bersyukur, dan tak lupa aku menziarahi makam ibu, ayah dan kakaku yang terletak berdampingan itu. Lalu aku pun diterima di Universitas Indonesia dan mengambil jurusan kedokteran. Ketika KKN aku berlatih alias praktek di rumah sakit Karyadi Semarang sebagai dokter umum. Meskipun masih berlatih, aku tetap bersyukur. Tak pernah aku melupakan peternakan yang kini telah banyak karyawannya. Setelah hampir 4 tahun akhirnya aku berhasil manyandang gelar ‘Dokter’ dan diterima di RS. Karyadi Semarang, sebagai dokter umum. Walau begitu tak jarang aku berkunjung ke Temanggung untuk melihat dan menengok peternakanku kini yang semakun maju dan berkembang
“ibu, ayah, kakak. Lihat aku sekarang sudah sukses menjadi seorang dokter. Dan aku bu, sudah jadi peternak sukses, seperti harapan ibu. Makasih sudah mau menyemangatiku. Aku menyayangi kalian” ucapku terisak lalu meletakkan seikat bunga d iatas setiap makam keluargaku.
Dari sini aku bisa tau, bahwa walaupun sebatang kara, atau apapun itu, kita harus bersyukur. Dan dengan semangat yang tinggi, kita mampu menjadi orang yang berhasil! SEMANGAT!!!
TAMAT
Cerpen Karangan: Nia Amanda
Facebook: Achla D’rizolla

No comments:

Post a Comment