Sunday 8 March 2015

AELAN
Aura bahagia dan berseri-seri nampak memancar dari wajah seorang gadis kecil. Dengan seragam putih-merah, dia melangkah pasti sambil mengayun-ayunkan tangannya. Dalam hatinya bertaburan kegembiraan sebab baru kali ini dan baru hari ini dia merasa sederajat dengan anak-anak lain. Membawa tas di punggungnya dan memakai sepatu berwarna pink yang selama ini dia idam-idamkan. Bocah itu seharusnya dua tahun yang lalu sudah menginjak sekolah dasar, bukan lantaran keluarganya tidak mampu membiayai, namun karena ayahnya enggan menyekolahkan, hingga nuggak dua tahun, kini umurnya tujuh tahun setengah. Sambil melangkah, terus dia ayun-ayunkan tangannya, serasa terbang bersama kupu-kupu, bersama kebahagiaan.
Sesampainya di sekolah, dia kagum melihat bangunan impiannya, bangunan yang mewah menurutnya. Tapi sebenarnya dia lebih kagum melihat anak-anak sebayanya yang sedang bermain ceria di setiap sudut sekolah itu. Saat dia hendak mendekati mereka, lantas pada akhirnya dia kecewa. Angan yang membayanginya selama ini pupus. Apa yang dia harapkan sama sekali bertolak belakang. Dia membayangkan sekolah adalah tempat yang paling indah mungkin layaknya surga, dengan berbagai corak dan warna tapi yang paling dia harapkan adalah seorang teman. Teman untuk mengusir sepinya. Selama ini dia berfikir bahwa penyebab anak-anak lain menjauhinya karena dia tidak bersekolah, ya sekolah seperti mereka saat ini. Mungkin juga anak-anak lain menganggap dia miskin. Sekolah adalah harapanya agar anggapan itu hilang dan dia diterima sebagai teman oleh mereka. Tapi nyatanya tidak.
Bahkan meraka mengolok-olok gadis kecil itu, mereka takut hanya sekedar duduk di sampingnya. Mereka jijik, tidak ada satu pun yang mendekatinya. Wajah gadis itu seperti monster, menakutkan. Matanya besar sebelah dan juling, bibirnya besar, hidungnya bengkok, dengan pipi sebelah yang bertanda hitam. Wajah yang menyeramkan. Sebenarnya ayahnya tidak tega melihat anak gadisnya sekolah. Hanya saja, dia juga tidak tahan mendengar rengekan gadis kecil itu. Akhirnya dia lepas dengan hati penuh was-was. Gadis kecil itu tidak memiliki ibu, ibunya tidak ada. Dia telah tiada meninggal saat melahirkannya. Tidak ada ibu yang memeluknya dengan kehangatan saat-saat seperti ini. Yang dia rasakan hanya dinginya pelukan sang ayah. Dan hari ini, pelukan ayah yang dingin masih membekas dalam ingatanya dan menjadi lebih dingin. Dia sangat kecewa, ayahnya membohonginya.
Gadis kecil itu pulang dengan kesedihan. Kontras dengan wajah yang berbinar saat dia berangkat tadi, meski saat wajahnya berbinar pun masih sulit untuk disebut cantik. Dia menangis hingga tubuhnya menggigil. Peluh air mata menetes tanpa henti. Sepanjang jalan tanah-tanah yang dia injak mewarisi kesedihanya. Tanah yang pernah melihat binar wajahnya, kini menjadi wadah air matanya. Mewadahi setiap tetes kesedihan. Mungkin hanyalah tanah yang mampu melihat kecantikan dia yang sebenarnya. Dan mungkin juga, alam jauh lebih mengerti tentang kecantikanya.
Dia adalah anak yang baik. Cinta terhadap alam dan alam pun cinta terhadapnya. Bukti cintanya terhadap alam, bunga-bunga indah menghiasi gubuk tuannya. Meskipun wajahnya tak seindah dengan bunga tak secantik dengan bunga, namun setiap hari dia siram bunga-bunga itu dengan penuh kasih. Bunga yang telah ditanam ibunya. Selama ini dia tidak berani keluar dari lingkungan rumah, sebab ayahnya tak mengijinkan. Dia tidak rela gadis kecilnya jadi bahan olokan. Di rumah hanya berteman dengan bunga, hingga akhirnya sang ayah tak tahan mendengar rengekan gadis kecilnya. Meskipun hatinya pilu, akhirnya ayah merelakan dia sekolah.
“Ayah, kenapa ayah bohong? Katanya aku cantik. Jika cantik kenapa teman-teman takut, mereka jijik terhadapku ayah!”, dengan suara bergetar gadis itu menghadap ayahnya.
“Ayah tidak bohong nak, mereka hanya tidak bisa melihat kecantikanmu nak”
“Apakah aku secantik ibu, yah?”
“Ibumu cantik nak”
“Apakah aku secantik ibu?”
“Iya nak, tapi cantik itu bukan dilihat dari wajah nak, cantik itu dari dalam hati. Kau adalah gadis tercantik. Seperti bunga-bungamu itu nak, bahkan lebih cantik”
“Ayah bohong!”
“Ayah pembohong!”
Dia lari menuju kamar tak memperdulikan kata-kata ayahnya. Hatinya terpukul, sangat sakit. Ayah yang pelukannya dingin itu terasa lebih dingin lagi, dingin hingga menyakiti hati. Gadis kecil yang malang. Tapi sebenarnya, ayahnya sering kali merenung meratapi nasib yang menimpa putrinya. Dia merasa sangat menyesal, karena dialah gadis malang itu terlahir. Dosa apa yang dia perbuat sehingga anaknya menderita seperti ini.
Sudah tiga hari gadis kecil itu tidak keluar kamar. Makanan hanya diselipkan lewat pintu yang berlubang. Ayahnya tak kuasa lagi menahan sabar, dia sudah merasa bersalah dan merasa bersalah lagi. Akhirnya sang ayah hilang kesabaran dan mendobrak kamar putrinya. Dia melihat gadis itu tergolek lemas di dalam kamar. Dengan cepat dia raih tubuh gadis kecil itu, dia rangkul, kemudian dia pegang urat nadinya. Ternyata masih hidup. “Nak, bangun nak. Ayah sangat menyayangimu nak!”, gadis itu siuman, entah karena dekapanya yang dingin atau karena cinta sang ayah, gadis itu menatap nanar wajah ayahnya. “Aku baik-baik saja, maafkan aku yah!”, dia peluk gadis kecil itu sangat erat, dan melupakan kodrat laki-laki, dia menitikan air mata.
Beberapa hari telah berlalu setelah kejadian itu, dia tidak ingin sekolah lagi. Dia lebih suka bermain dengan bunga-bunga yang indah. Seperti kebiasaanya yang lalu. Terkadang dia cium, terkadang pula dia ajak bicara. Bunga telah memenuhi ronga-rongga kosong dalam hatinya. Minimal dia bisa menahan, menahan untuk bermain dengan teman sebayanya.
“Melati, tahu tidak, ibuku itu sangat cantik. Kata ayah kulitnya putih bercahaya. Tapi kenapa ya wajahku kok tidak seperti ibu?”
“Mawar, kamu juga cantik kok, sama cantiknya dengan melati. Tapi kata ayah mawar punya keistimewaan. Mawar punya duri untuk melindungi kecantikannya. Andai aku secantik kalian berdua pasti temanku banyak.” Setiap hari gadis itu tidak pernah meninggalkan bunga-bunganya, sesekali dia cium.
“Nak ayo masuk rumah, makan dulu seharian belum makan!”
“Iya yah sebentar!”, gadis kecil itu berlari mengahampiri ayahnya. Saat mereka berdua tengah asik makan tiba-tiba gadis kecil nyeletuk pada ayahnya “Yah hidung ibu tidak bengkok kan? Tidak seperti hidungku”
“Wajah ibu itu seperti bulan yang bersinar”
“Aku kangen yah sama ibu, andai dia ada di sini bersama kita”, sang ayah hatinya terasa ditikam oleh pertanyaan anaknya. Seketika ia terbayang wajah istrinya yang cantik, sangat kontras dengan wajah anaknya. Ya Tuhan apa salahku, sehingga anakku terlahir seperti ini? Ayah itu berbisik dalam hatinya.
Di saat malam yang sangat sepi gadis itu terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba dia merasa sangat rindu dengan bunga-bunganya, seperti ada bisikan lembut menuntunya. Kemudian dia berdiri dan melangkah keluar rumah dengan kaki berjinjit takut ayahnya terbangun. Lantas dia berjongkok di depan bunga-bunganya.
“Ah kenapa ya tiba-tiba aku sangat rindu pada kalian? apa kalian juga merindukan aku, bunga-bungaku?”
“Gadis kecil, kau jangan bersedih lagi. Kini aku dan mawar akan mewariskan kecantikan kami kepadamu. Saatnya telah tiba nak! Kamu bersedia nak?”, gadis kecil itu terkejut tidak menyangka bahwa bunga itu berbicara.
“Kamu bisa bicara?” tanya gadis kecil itu meyakinkan dirinya dengan apa yang dia dengar barusan.
“Iya kami bisa berbicara. Ibumu yang cantik bagai rembulan, dia sebelum meinggal berpesan kepada kami, untuk mewariskan setengah kecantikanku dan Melati kepadamu yang sebenarnya kecatikan ini dari ibumu. Ibumu yang telah menanam kami beserta kecantikannya. Dia tahu kelak kau akan seperti ini”, Mawar yang berbicara.
“Bernakah ibu yang berpesan? Jika aku mau apa kalian masih cantik?”
“Tentu nak, kami masih tetap cantik. Meskipun tanpa kecantikan dari kami. Kamu seutuhnya sudah cantik, cantik dengan kalbumu. Kami mengamatimu nak selama ini”
“Tapi kami harus melaksanakan pesan ibumu nak!”
“Baiklah aku mau”
Cahaya memenuhi pelataran, menutup rapat tubuh gadis kecil. Pepohonan, alam tersenyum bahagia melihat kejadian itu.
Pagi hari, sang ayah terkejut melihat sosok gadis kecil yang amat centik berada dalam kamar anaknya. Mata yang indah, bibir yang ranum, gadis sangat cantik, tanpa tanda hitam di pipinya.
“Hei, kamu siapa. Mana anakku?”
“Ayah, aku anakmu. Tadi malam bunga-bunga mewariskan kecantikannya kepadaku, katanya ibu yang berpesan”
“Benarkah kamu anakku?”
“Iya aku anakmu yah!”
“Syukurlah nak, sekarang kamu sangat cantik bahkan lebih cantik dari ibumu”
Akhirnya dia dapat sekolah dengan percaya diri, dengan wajah yang tidak menakutkan bahkan sangat cantik. Teman-teman yang pernah takut kepadanya kini mengagumi kecantikan dan kebaikannya. Dia punya banyak teman, persis seperti yang dia mimpikan selama ini. Sekarang dia telah merasakan kebahagiaan yang sebenarnya dengan teman-teman barunya. Namun saat dia pulang awan kelabu serasa mengikuti setiap kaki yang dia langkahkan. Ternyata ini adalah badai besar. Dan saat dia menyebrang hendak pulang, hujan deras mengguyur bumi. Di antara bunyi rintik hujan yang deras menyelinap suara.
“Brukkk!”
Tubuhnya terpental jauh, mobil dengan kecepatan tinggi menghantam. Tubuhnya berlumuran darah. Darah yang mengalir bersama tetesan hujan. Kematian telah merenggut kecantikannya untuk selama-lamanya. Gadis kecil yang malang, belum puas dia bahagia, Tuhan telah merenggutnya. Sungguh gadis kecil yang malang. Gadis itu bernama “Bunga”.
Cerpen Karangan: Rendi Mahedra
Facebook: https://www.facebook.com/randy.mahendra
Rendi Mahendra, Trenggalek 26 Juni 1994. Kini tengah melanjutkan studi di STAIN PONOROGO semester dua. Berkeinginan keliling Indonesia.

No comments:

Post a Comment